Sabtu, 13 September 2014

Apakah semua perusahaan membutuhkan media sosial?

Apakah semua perusahaan butuh media sosial?

Pertanyaan menarik, mengingat booming media sosial yang terjadi beberapa tahun kebelakang membuat semua orang, mulai dari orang bahkan bayi hingga kucing pun punya akun media sosial. 

Lalu bagaimana dengan perusahaan? Istilah penulis, perusahaan itu adalah Makhluk rasional yang memiliki berbagai karakter/wajah (staf bawahan hingga top manajer punya persepsi tersendiri mengenai perusahaannya mulai dari senang, rasa underdog, jiwa pemimpin dan sebagainya). Perusahaan adalah makhluk rasional karena memiliki sistem, prosedur dan perhitungan khusus/terstruktur dalam membuat keputusan, bahkan untuk corporate action kecil seperti pembelian alat tulis perlu rapat yang panjang.
Apakah makhluk rasional ini perlu media sosial?

Jawabannya adalah tergantung dari segmentasinya. Jika perusahaan tersebut memiliki retail customer (B2C) maka memiliki media sosial menjadi wajib. Customer yang pada dasarnya adalah manusia adalah makhluk yang irasional, dan ekspresif. Customer tidak bisa dikontrol, tapi perusahaan bisa mengintip apa yang dibicarakan atau dikeluhkan oleh konsumennya dan media sosial milik perusahaan bisa melokalisir/menurangi dampak buruk dari permasalahan sebelum meledak lebih lanjut.

Lalu bagaimana dengan perusahaan dengan customer corporate (B2B)? 
Jadi istilahnya makhluk rasional bertemu dengan makhluk rasional, sehingga gaya bahasa maupun metode komunikasi cenderung terstruktur dan menggunakan jalur resmi (surat, email hingga tatap muka). Oleh karena itu penulis menilai bahwa fungsi media sosial tidak terlalu signifikan.

Apakah tukang gorengan perlu media sosial?
Menjual gorengan juga usaha, dan kasus Ini menarik, karena ada rekan dari penulis yang punya usaha goreng pisang dan dia mempunyai Facebook fanpage. Penulis merasa ada batas-batas kabur dimana usaha kecil tidak/perlu memiliki akun media sosial. Dan perlu dibuat batas tegas untuk mengurangi fenomena menjamurnya akun media sosial namun tanpa isi/subtansi.

Penulis menilai bahwa usaha kecil dengan jangkauan wilayah minimal perkotaan atau setingkat daerah tingkat II barulah layak untuk memiliki akun media sosial, mengingat salah satu fungsi media sosial adalah untuk meningkatkan reach/jangkauan.

Jadi setelah membaca tulisan diatas, bagaimana anda menempatkan bisnis/perusahaan anda didepan customer?

Sabtu, 09 Agustus 2014

Polygon Metro 3.0 Longterm Test

Yes, judulnya bahasa inggris tapi isinya bahasa campur aduk indonesia. 
Waktu itu (di)beli(in) sepeda Polygon Metro 3.0 aseli dari dealernya. Kebetulan Metro 3.0 sekarang sudah direpackage (ganti nama) menjadi Urbano. Versi yang sekarang kelir dan stiker nama lebih ceria dan harganya nambah dikit (efek inflasi mungkin). Setelah 3 tahun dipakai dan kayaknya jarak tempuhnya mendekati 1000 km, inilah hasil reviewnya.



1. Karet Handlebar sobek
Handlebar jadi bagian yang selalu dipegang, makanya karet handlebar kadang bisa terpelintir dan sobek. Jaman gue duluuu naik sepeda, gear shifternya model dorong, jadi karet handlebarnya kaku. Mungkin kita bisa berkaca ke handlebar motor, sisi kiri mesti firm, yang kanan harus ikut melintir (grip gas) dan di Metro 3.0 gear shifternya model pelintir (twist). 
Solusinya: handlebar grip kiri bisa di lem, tapi nanti kalo mau ganti handlebar grip bakal merepotkan.



2. Munculnya karat di mudguard roda belakang
Karat yang muncul ini bisa berasal dari berbagai sumber: 
  • Sisa air/kotoran yang menempel dan tidak dikeringkan/bersihkan, 
  • Material berkualitas rendah sehingga mudah berkarat.
Solusi: rajin-rajinlah mencuci sepeda, dan ganti ke mudguard yang anti karat.




3. Speed yang terbatas
Kebanyakan rute yang gue lalui terdiri dari jalan raya yang sepi hingga sangat ramai. Sepinya jalan membuat kendaraan lain (motor, mobil) bisa melaju lebih cepat, dan hal ini membuat sepeda dengan 1x6 speed ini kewalahan. Dengan 6 speed diperkirakan top speednya mencapai 30 km/jam. 
Kenapa seli perlu ngebut? Yah kadang pesepeda butuh akselerasi cepat saat di jalur yang menyatu atau ketika akan menyalip kendaraan yang lain. 
Kalo pas macet sih gue malah merasa aman. *kode.
Solusi: tambah gear ato nabung stamina untuk saat-saat yang diperlukan.

4. Tidak ada shock absorber depan 
Kalo elu pikir naik sepeda itu bakal nyaman dan menyenangkan, salah! 
Apalagi di ibukota, jalan banyak undak-undakan gorong-gorong, lobang bahkan speedbump ato polisi tidur bikin city cycling itu lebih bahaya. Apakagi kalo tambalan aspal dari Dinas Pekerjaan Umumnya jaaaaaauh lebih tinggi dari tutup selokan itu. Hiiiii... 
Makanya gue rasa gue butuh front shock buat melibas semua lobang. Kalo menimbang Metro 3.0 yang ini, hantaman (bukan bantingan) yang keras bisa berdampak ke jari-jari, velg, fork bahkan nyawa pesepedanya.  
Solusi: ganti sepeda, ato ganti front shock aja ato set tekanan ban jadi medium, biar hantaman jalan pun bisa agak teredam.


5. Jok yang berputar
Bahan dasar Polygon Metro 3.0 sepertinya dari aluminium, ringan tapi tidak sekeras besi. Ditambah pula dengan pergerakan pengendara membuat grip kursi kadang berputar/melintir sendiri. Tambah lagi kalo ada kotoran yang nyempil. Semakin sering dipakai makan gripnya dirasa kurang kuat memegang tangkai jok. Sampai saat ini (untungnya) belum kejadian amblesnya jok sepeda.
Solusi: ganti grip kursi ato tangkai dudukan jok, tambahkan penyisip biar ga gerak atau usahakan mode mengendarai pengendara (riding style) ga rusuh.
6. Jok belakang yang (nyaris) tak berguna
Jok belakang dengan ketinggian kira-kira 50 cm dari bawah, kira-kira apa fungsinya? 
Membonceng orang? tidak. 
Membonceng anak-anak? bisa, asal ada child seatnya. 
Menaruh barang? Bisa, asal ada karet pengikatnya. Karet inilah yang jadi nilai jual jok belakang Polygon Urbano, adik dari Polygon Metro.

Yah, itulah kritik gue terhadap sepeda Polygon Metro 3.0. 
Kalo soal keuntungan Metro 3.0, gue suka karena desainnya kompak, dimensi kecil, wheel base pendek cocok buat nyelip-nyelip di jalan sempit dan macet.